Kamis, 28 Februari 2013

Hukum Bersalaman Usai Shalat, Bolehkah?


Kisah ini nyata. Terjadi pada 2007-an. Seperti biasa, jamaah shalat zhuhur di sebuah masjid yang berlokasi di Klender, Jakarta Timur berduyun-duyun memenuhi kewajiban utama umat Islam tersebut. Usai shalat, seorang jamaah, sebut saja si fulan menjulurkan tangan ke arah sebelah kanannya.

Maksud hati utuk berjabat tangan. Dengan muka masam, ‘tetangga’ shaf tersebut enggan membalas tawaran bersalaman itu. Ekspresi kekecawaan timbul dari si fulan. Sang jiran itu pun berujar kepada saya,”Bersalaman itu bidah.” Tak ingin berdebat panjang, pembicaraan itu pun tidak saya respons.    

Berjabat tangan selepas shalat, merupakan pemandangan lumrah dan banyak dijumpai di masyarakat. Sebagian mempersoalkannya, tapi tak sedikit pula yang  membiasakannya.

Ternyata, tidak hanya di dalam negeri, persoalan serupa menjadi perbincangan dan diskusi hangat umat Muslim mancanegera. Sepele memang, namun acapkali sensitif dan menimbulkan gesekan.  
   
Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Mesir, menyatakan hukum saling berjabat tangan setelah shalat diperbolehkan dan memiliki landasan yang kuat. Bahkan, sangat dianjurkan.

Anjuran ini masuk dalam kategori kesunatan bersalaman antarsesama Muslim. Ini seperti ditekankan di hadis riwayat Abu Dawud dari al-Barra’ Azib. Hadis tersebut menyebutkan, jika kedua Muslim bertemu lalu saling berjabat tangan, memuji dan meminta ampun Allah SWT, niscaya Dia akan mengampuni keduanya.

Keputusan yang dikeluarkan pada 2007 itu, merujuk pula pendapat para salaf. Imam an-Nawawi, misalnya. Dalam kitab al-Majmu’ ulama bermazhab Syafii ini menegaskan memang untuk konteks salaman usai shalat belum pernah ada dasar yang secara gamblang.

Namun, tak jadi soal melakukannya. Pasalnya, ini mengacu pada landasan asal bersalaman yakni sunat.  Imam Izzudin bin Salam berpendapat bersalaman usai shalat Shubuh dan Ashar atau shalat tertentu adalah bidah yang diperbolehkan. Lembaga ini juga menggarisbawahi agar tidak menganggap salaman itu sebagai kesempurnaan shalat.
   
Di akhir ketetapan, Dar al-Ifta mengimbau agar umat Islam menjaga etika perbedaan. Berbeda pendapat boleh, namun tetap saling menghargai. Menampik tawaran berjabat tangan, bisa memicu rasa benci dan ketegangan antara satu dan yang lain. Dan ketahuilah, menumbuhkan rasa cinta satu sama lain jauh lebih baik ketimbang memancing emosi dan sentimen.
   
Mengutip pendapat Mazhab Maliki, Lembaga Wakaf dan Urusan Islam Uni Emirat Arab (UEA), menyatakan hukum berjabat tangan usai shalat ialah makruh. Ini seperti disampaikan Imam al-Khuttab al-Maliki. Tapi lembaga ini mengingatkan, aktivitas itu tetap boleh dilakukan. Apalagi banyak kalangan ulama yang juga memperbolehkannya.

Dengan alasan bersalaman usai shalat tersebut mengacu pada anjuran bersalaman secara umum. Selain Imam an-Nawawi dan Izzuddin bin Salam, Imam as-Syarbini juga berpandangan boleh dalam kitab Mughni al Muhtaj. Soal bolehnya bersalaman usai shalat juga ditegaskan oleh Darul Fatwa, lembaga fatwa umat Islam di Australia.
   
Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan jawaban atas soalan ini. Mereka berpandangan, bersalaman usai shalat tidak pernah diajarkan Rasulullah. Karenanya, sudah semestinya ditinggalkan.
   
Lembaga ini  berargumentasi, aktivitas yang utama setelah shalat ialah berzikir. Meliputi tahmid, tasbih, dan takbir serta tahlil. Tak lupa ialah meminta ampunan. Anjuran bersalaman berlaku saat pertemuan antarsesama Muslim.
   
Bila dilakukan ketika bertatap muka saat berdatangan di masjid, maka tidak masalah. Ini merupakan sunah Rasulullah. Selain hadis dari al-Barra’ di atas, sahabat Anas bin Malik juga pernah berkisah, kebiasaan para sahabat ketika bertemu ialah saling bersalaman.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar